Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah di Indonesia

Kepunahan bahasa-bahasa daerah merupakan fenomena yang harus disikapi secara arif. Berbagai upaya antisipatif dan serius perlu dilakukan. Untuk itu, barangkali perlu dilakukan identifikasi terlebih dahulu untuk mengetahui akar penyebab kepunahan itu sehingga dapat dilakukan cara yang tepat dalam penanganannya. 

10 Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah

Sebenarnya, ada banyak faktor yang dapat menyebabkan kepunahan bahasa. Berikut akan dipaparkan 10 faktor penyebab yang teridentifikasi sejauh ini. Kesepuluh faktor tersebut adalah:

  1. Faktor Pengaruh Bahasa Mayoritas di mana Bahasa Daerah tersebut digunakan.
  2. Faktor Kondisi Masyarakat
  3. Faktor Migrasi
  4. Faktor Globalisasi
  5. Faktor Perkawinan Antar-etnik (intermarriage)
  6. Faktor Bencana Alam dan Musibah
  7. Kurangnya Penghargaan Terhadap Bahasa Etnik Sendiri
  8. Kurangnya intensitas komunikasi berbahasa daerah dalam berbagai ranah khususnya dalam ranah rumah tangga
  9. Faktor Ekonomi
  10. Faktor Bahasa Indonesia

Faktor Pengaruh Bahasa Mayoritas di mana Bahasa Daerah tersebut digunakan. 

Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah yang pertama, yaitu pengaruh bahasa mayoritas di mana bahasa daerah tersebut digunakan. Hal ini dapat dilihat dalam kasus bahasa Yaben yang digunakan di Kabupaten Sorong Selatan, terutama di Kampung Konda dan Wamargege. Bahasa yang dapat dikategorikan ke dalam rumpun bahasa non-Austronesia ini merupakan bahasaminoritas dengan jumlah penuturnya diperkirakan tinggal sekitar 500 orang. 

Pemakaian bahasa etnik Yaben mendapat persaingan atau pengaruh yang kuat dari bahasa Melayu Papua yang digunakan di Tanah Papua pada umumnya. Dalam banyak ranah pemakaian bahasa, kecenderungan yang terjadi ialah masyarakat etnik Yaben lebih memilih menggunakan bahasa Melayu Papua. 

Sebuah bahasa daerah yang tidak dapat bersaing dengan bahasa lain dalam daerah yang sama bisa saja mengalami pergeseran dari bahasa yang berada pada ranah Tinggi (ranah agama, pendidikan, pekerjaan) ke bahasa yang berada pada ranah Rendah (ranah keluarga dan persahabatan). 

Jika bahasa tersebut terus terdesak, maka hal ini bisa saja menjadikannya sebagai bahasa yang sekarat dan pada akhirnya punah (Gunarwan 2006).

Tabel 1. Pola Kebertahanan dan Pergeseran Beberapa Bahasa Daerah di Indonesia Berdasarkan Beberapa Hasil Penelitian

Diadaptasi dari: Bahasa Minoritas, Identitas Etnik, dan Kebertahanan Bahasa: Kasus Bahasa Sumbawa di Lombok (Wilian 2005) 
Berdasarkan pada tabel di atas dapat dikatakan bahwa bahasa Melayu Loloan, Karo, dan Melayu Banjar memiliki pemertahanan bahasa yang tinggi. Sementara itu, bahasa-bahasa lainnya (bahasa Lampung, Angkola, Mandailing, Melayu Medan, Tonsea, Bali, dan Mentawai) memiliki tingkat pemertahanan bahasa yang rendah. Hal ini dapat disebabkan karena sikap bahasa masyarakat penuturnya yang tidak loyal terhadap bahasa daerahnya.  

Faktor Kondisi Masyarakat

Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah yang kedua adalah kondisi masyarakat penuturnya yang bilingual atau bahkan multilingual. Artinya, kondisi di mana seorang penutur mampu menggunakan dua bahasa atau bahkan multi bahasa. 
Pada situasi seperti ini sering terjadi alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing) berkaitan dengan penggunaan beberapa leksikon maupun frase bahasa lain dalam tuturan (utterance). Alih kode (code switching) ialah penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain atau karena adanya partisipan lain, sedangkan campur kode (code mixing) dapat berupa interferensi. 
Interferensi yaitu pengaruh tidak permanen, oleh karena merupakan penyimpangan norma bahasa kedua sebagai akibat penggunaan norma bahasa pertama atau sebaliknya (Weinreich 1953) dalam Masinambow (1976). Atau, dapat juga dikatakan sebagai penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dsb (Kridalaksana 1993: 9,35). 
Dalam kasus Bahasa Melayu Manado (selanjutnya ditulis: BMM), misalnya, beberapa satuan bahasa yang sering digunakan penuturnya merupakan interferensi dari bahasa lain ke dalam BMM. Berikut beberapa contoh kasus interferensi dari Bahasa Inggris dan Bahasa Melayu Jakarta ke dalam BMM: 
Interferensi bahasa asing (Bahasa Inggris) ke dalam BMM: 
Ngana do’ pe bae skali eh, thanks dang ne (Bahasa Inggris) 
Ngana do’ pe bae skali eh, makaseh dang ne (BMM) 
‘Kamu baik sekali, terima kasih ya’ 
Interferensi bahasa daerah lain (Bahasa Melayu Jakarta) ke dalam BMM: 
Permisi ne, so kebelet kwa. (Bahasa Melayu Jakarta) 
Permisi ne, so nda tahang kwa (BMM) 
‘Permisi ya, soalnya sudah tak tahan’ 
Pada contoh pertama tampak bahwa terdapat interferensi dari bahasa Inggris ke dalam struktur bahasa Melayu Manado, yakni satuan bahasa (baca: kata) thanks ’terima kasih’. Sementara itu, contoh kedua dan ketiga memperlihatkan interferensi dari bahasa Melayu Jakarta ke dalam struktur BMM yang ditandai oleh satuan-satuan bahasa seperti duluan ’lebih dulu’ dan kebelet ’tak tahan lagi’. 
Fenomena pemakaian satuan-satuan bahasa lain seperti itu bukan tidak mungkin suatu saat akan meningkat eskalasinya yang pada akhirnya dapat merugikan BMM itu sendiri, bahkan tidak mustahil akan menggiring bahasa tersebut kepada ambang kepunahan. 

Faktor Globalisasi

Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah yang  ketiga adalah faktor globalisasi. Era globalisasi sekarang ini yang terjadi dalam berbagai dimensi kehidupan manusia seperti ekonomi, sosial, politik, dan budaya telah mendorong penutur sebuah bahasa untuk secara berhasil dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan penutur bahasa lain yang berasal dari negara lain terutama negara yang berbahasa Inggris. 
Era ini ditandai pula dengan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat berdampak pada orientasi pemakaian bahasa seorang penutur. Dalam situasi seperti itu penting adanya sebuah bahasa sebagai alat komunikasi secara internasional. 
Dengan kata lain, apa yang hendak dikatakan di sini ialah bahwa penggunaan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi yang telah diterima secara global turut berperan pula dalam proses kepunahan bahasa daerah. 
Bahasa Inggris telah menjadi bahasa pergaulan internasional dan bahasa ilmu pengetahuan. Kebanyakan buku-buku dalam spektrum ilmu yang beragam saat ini ditulis dalam bahasa Inggris. Itu berarti seseorang dituntut untuk menguasai bahasa tersebut apabila ia ingin memasuki lingkungan pergaulan dunia yang penuh persaingan dengan sukses. 
Hal ini secara perlahan dapat mempengaruhi persentase pemakaian bahasa daerah seorang penutur menjadi lebih kecil karena bergeser pada pemakaian bahasa Inggris yang persentase pemakaiannya menjadi semakin besar. 

Faktor Migrasi

Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah yang keempat yaitu faktor migrasi (migration). Migrasi penduduk keluar dari daerah asalnya baik karena pekerjaan, pendidikan, keluarga, maupun karena beberapa faktor lainnya turut pula menentukan kelangsungan hidup bahasanya. Contoh kasus yang dapat dikemukakan di sini yaitu apa yang terjadi pada sebagian orang Manado. 
Secara umum, tampaknya mereka memiliki sifat open-minded. Artinya, cenderung terbuka dan cepat menerima nuansa dari luar termasuk dalam aspek kebahasaan. Di satu sisi, karakter tersebut dapat membawa keuntungan karena di mana-mana dapat dengan mudah beradaptasi secara cepat dalam berbagai kondisi sosial. 
Akan tetapi, di sisi lain, apabila dikaitkan dengan pemertahanan bahasa dapat membawa petaka tersendiri bagi keberadaan bahasanya karena ditengarai ada sebagian generasi muda, misalnya, yang setelah kembali ke daerahnya dari perantauan di negeri orang (baik di Indonesia maupun di luar negeri), cenderung menggunakan bahasa di mana mereka merantau dahulu. 
Salah satu faktor penyebabnya karena perasaan gengsi bahwa jika menggunakan bahasa daerahnya sendiri maka statusnya akan menjadi rendah. Sementara itu, status bahasa tempatnya merantau dahulu dianggapnya tinggi. Salah satu bahasa yang biasanya dianggap berstatus tinggi yaitu bahasa Melayu Jakarta. 

Faktor Perkawinan Antar-etnik (intermarriage)

Faktor kelima ialah perkawinan antaretnik (intermarriage). Interaksi sosial antaretnik yang ada di Indonesia khususnya perkawinan antaretnik yang terjadi turut pula mendorong proses kepunahan bahasa daerah. 
Akibat perkawinan tersebut pasangan suami-isteri beda etnik yang membentuk sebuah keluarga seringkali mengalami kesulitan untuk mempertahankan bahasa etniknya dan harus memilih salah satu bahasa etnik yang akan digunakan dalam percakapan sehari-hari. Pemilihan bahasa apa yang akan digunakan seringkali dipengaruhi oleh liyan yang menjadi lawan interaksi percakapan. 

Faktor Bencana Alam dan Musibah

Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah yang keenam adalah bencana alam dan musibah, juga dapat turut menjadi penyebab kepunahan sebuah bahasa. Terjadinya kelaparan, peperangan, penyakit, gempa bumi, tsunami dan sebagainya dapat saja memusnahkan penuturnya seperti halnya yang terjadi pada penutur bahasa Paulohi sekitar tahun 1918. 
Pada waktu itu, mereka mengalami bencana gempa dan tsunami yang sangat dahsyat sehingga hampir semua penutur bahasa tersebut meninggal dan hanya 50 penutur yang tersisa (Grimes 2002). Sampai saat ini fenomena-fenomena alam yang terjadi secara tiba-tiba dan sangat sulit diprediksi sebelumnya sering pula terjadi. 
Gempa bumi besar yang terjadi baru-baru ini pada tanggal 4 Januari 2009 di Manokwari dan Sorong, Papua Barat, dengan kekuatan 7,6 skala richter dan di Melonguane, Talaud – Sulawesi Utara, pada awal Februari 2009 dengan kekuatan 7,4 skala richter, bukan tidak mungkin dapat menjadi faktor signifikan terhadap proses kepunahan bahasa-bahasa daerah di sana, terutama bahasa-bahasa minoritas yang jumlahnya cukup banyak. 
Oleh karena itu, kajian-kajian keilmuan terhadap kawasan Timur Indonesia tampaknya perlu diberikan perhatian yang serius khususnya dalam aspek bahasa dan budaya penduduknya yang belum tereksplorasi secara baik karena wilayah-wilayah tersebut merupakan daerah-daerah yang rawan terhadap terjadinya gempa bumi, tsunami, dan berbagai bencana alam lainnya, terutama dengan adanya sesar Sorong (patahan Sorong) yang memotong wilayah Kepala Burung, Papua, dan masih aktif berkembang sampai sekarang. Ini pula lah yang diduga kuat menjadi penyebab terjadinya gempa beberapa waktu lalu di sana.

Kurangnya Penghargaan Terhadap Bahasa Etnik Sendiri

Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah yang  ketujuh, yaitu kurangnya penghargaan terhadap bahasa etnik sendiri. Hal ini dapat terjadi di mana saja dan cenderung terjadi pada generasi muda. Salah satu penyebabnya adalah pandangan mereka bahwa bahasa daerah kurang bergengsi atau kampungan. Sementara itu, bahasa lain (misalnya: bahasa Indonesia, bahasa Inggris, atau bahasa lain yang dominan) dianggap lebih bergengsi daripada bahasa daerahnya. 

Kurangnya intensitas komunikasi berbahasa daerah dalam berbagai ranah khususnya dalam ranah rumah tangga

Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah yang kedelapan, kurangnya intensitas komunikasi berbahasa daerah dalam berbagai ranah khususnya dalam ranah rumah tangga. Hal ini dapat memperlihatkan adanya jarak (gap) antara generasi tua dengan generasi muda di mana transfer kebahasaan lintas generasi mengalami kemandekan. 

Orang tua jarang berkomunikasi menggunakan bahasa daerah dengan anak-anak. Padahal, intensitas dalam berkomunikasi dengan bahasa daerah terutama di rumah (antara orang tua dengan anak-anak) pasti sangat menentukan keberlangsungan bahasa daerah tersebut. Semakin sering bahasa itu digunakan oleh penuturnya akan memberikan dampak positif dalam upaya menghindari bahasa tersebut dari kepunahan. 
Nah bagaimana, Nasib Bahasa Ibu di Rumah kita?

Faktor Ekonomi

Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah yang kesembilan, yaitu faktor ekonomi. Faktor ini secara tidak langsung turut pula menempatkan beberapa bahasa daerah dalam posisi di ambang kepunahan. Banyak penutur bahasa daerah yang lebih sering menggunakan bahasa lain (misalnya: bahasa Inggris) dengan maksud tertentu. Misalnya, adanya motif ekonomi. 

Hal ini turut mempengaruhi orang untuk mempelajari dan menggunakan bahasa tersebut baik secara aktif maupun pasif. Maksudnya antara lain agar dapat memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang lebih baik. Tuntutan zaman sekarang ini yang mengharuskan orang menguasai bahasa Inggris dalam dunia pekerjaan baik pada saat melamar maupun pada aplikasinya di dunia kerja yang nyata merupakan pendorong bagi usaha penguasaan bahasa tersebut, yang pada gilirannya di satu sisi dapat menjadi pemicu perkembangan dan popularitasnya. 

Sebaliknya, di sisi lain hal ini dapat menjadi petaka bagi bahasa daerah yang ditinggalkan atau dinomorduakan oleh penuturnya karena dapat menjadi awal kepunahan bagi bahasa daerah tersebut. 

Faktor Bahasa Indonesia

Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah yang terakhir (kesepuluh) yang dapat diidentifikasi di sini ialah faktor bahasa Indonesia. Faktor ini sebenarnya secara implisit tidak lepas dari pengaruh dimensi sosial politik yang melingkupi kehidupan masyarakat negara ini. 

Pengaruh bahasa Indonesia sejak lama telah dirasakan oleh berbagai bahasa daerah, yaitu sejak tahun1928 ketika bahasa Melayu diberi nama bahasa Indonesia dan diikuti pada tahun 1945 menjadi bahasa negara, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36. 

Dengan demikian, secara otomatis bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi kenegaraan dan banyak dipakai pada ranah-ranah resmi (formal) seperti misalnya sebagai bahasa pengantar dalam acara-acara kenegaraan dan di lembaga-lembaga pendidikan. Persaingan dengan bahasa Indonesia yang pengaruhnya sangat kuat ini telah menyebabkan bahasa-bahasa daerah mengalami pergeseran (language shift). 

Bahkan bagi banyak orang Indonesia, bahasa Indonesia telah menjadi bahasa primer sehingga tidak sedikit yang menggunakannya sebagai bahasa pertama, menggeser bahasa daerah (Gunarwan 2006: 96).

Sumber Rujukan

  • Grimes, Barbara F. 2002. “Kecenderungan Bahasa untuk Hidup atau Mati secara Global (Global Language Viability): Sebab, Gejala, dan Pemulihan untuk Bahasa-Bahasa yang Terancam Punah.” Dalam PELBBA 15. Jakarta: Kerjasama Penerbit Kanisius dan Unika Atma Jaya
  • Gunarwan, Asim. 2006. “Kasus-kasus Pergeseran Bahasa Daerah: Akibat Persaingan dengan Bahasa Indonesia?” Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia, Februari 2006, Tahun ke 24, Nomor 1. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia Bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia. 
  • Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Masinambow, E.K.M. 1976. Konvergensi Etnolinguistik di Halmahera Tengah: Sebuah Analisis Pendahuluan. Disertasi Doktor, Fakultas Sastra. Universitas Indonesia, Jakarta.
  • Tondo, Fanny Henry . 2009. Kepunahan Bahasa-bahasa Daerah: faktor Penyebab dan Implikasi Etnolingustik. Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 11 No. 2 Tahun 2009.
  • Wilian, Sudirman. 2005. “Bahasa Minoritas, Identitas Etnik, dan Kebertahanan Bahasa: Kasus Bahasa Sumbawa di Lombok.” Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia, Februari 2005, Tahun 23, Nomor 1. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia Bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia.

Posting Komentar untuk "Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah di Indonesia"

Perkembangan Kurikulum di Indonesia dan Profil Kurikulum di Berbagai Negara di Dunia
Prinsip-Prinsip Penilaian
Struktur Karangan Narasi