Kepunahan bahasa-bahasa daerah merupakan fenomena yang
harus disikapi secara arif. Berbagai upaya antisipatif dan serius perlu
dilakukan. Untuk itu, barangkali perlu dilakukan identifikasi terlebih
dahulu untuk mengetahui akar penyebab kepunahan itu sehingga dapat
dilakukan cara yang tepat dalam penanganannya.
10 Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah
Sebenarnya, ada
banyak faktor yang dapat menyebabkan kepunahan bahasa. Berikut
akan dipaparkan 10 faktor penyebab yang teridentifikasi
sejauh ini. Kesepuluh faktor tersebut adalah:
- Faktor Pengaruh Bahasa Mayoritas di mana Bahasa Daerah tersebut digunakan.
- Faktor Kondisi Masyarakat
- Faktor Migrasi
- Faktor Globalisasi
- Faktor Perkawinan Antar-etnik (intermarriage)
- Faktor Bencana Alam dan Musibah
- Kurangnya Penghargaan Terhadap Bahasa Etnik Sendiri
- Kurangnya intensitas komunikasi berbahasa daerah dalam berbagai ranah khususnya dalam ranah rumah tangga
- Faktor Ekonomi
- Faktor Bahasa Indonesia
Faktor Pengaruh Bahasa Mayoritas di mana Bahasa Daerah tersebut digunakan.
Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah yang pertama, yaitu pengaruh bahasa mayoritas di mana
bahasa daerah tersebut digunakan. Hal ini dapat dilihat dalam kasus
bahasa Yaben yang digunakan di Kabupaten Sorong Selatan, terutama
di Kampung Konda dan Wamargege. Bahasa yang dapat dikategorikan
ke dalam rumpun bahasa non-Austronesia ini merupakan bahasaminoritas dengan jumlah penuturnya diperkirakan tinggal sekitar 500
orang.
Pemakaian bahasa etnik Yaben mendapat persaingan atau
pengaruh yang kuat dari bahasa Melayu Papua yang digunakan di Tanah
Papua pada umumnya. Dalam banyak ranah pemakaian bahasa,
kecenderungan yang terjadi ialah masyarakat etnik Yaben lebih memilih
menggunakan bahasa Melayu Papua.
Sebuah bahasa daerah yang tidak dapat bersaing dengan bahasa
lain dalam daerah yang sama bisa saja mengalami pergeseran dari
bahasa yang berada pada ranah Tinggi (ranah agama, pendidikan,
pekerjaan) ke bahasa yang berada pada ranah Rendah (ranah keluarga
dan persahabatan).
Jika bahasa tersebut terus terdesak, maka hal ini bisa
saja menjadikannya sebagai bahasa yang sekarat dan pada akhirnya
punah (Gunarwan 2006).
Tabel 1. Pola Kebertahanan dan Pergeseran Beberapa Bahasa Daerah
di Indonesia Berdasarkan Beberapa Hasil Penelitian
Diadaptasi dari: Bahasa Minoritas, Identitas Etnik, dan Kebertahanan Bahasa:
Kasus Bahasa Sumbawa di Lombok (Wilian 2005)
Berdasarkan pada tabel di atas dapat dikatakan bahwa bahasa
Melayu Loloan, Karo, dan Melayu Banjar memiliki pemertahanan
bahasa yang tinggi. Sementara itu, bahasa-bahasa lainnya (bahasa
Lampung, Angkola, Mandailing, Melayu Medan, Tonsea, Bali, dan
Mentawai) memiliki tingkat pemertahanan bahasa yang rendah. Hal ini
dapat disebabkan karena sikap bahasa masyarakat penuturnya yang
tidak loyal terhadap bahasa daerahnya.
Faktor Kondisi Masyarakat
Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah yang kedua adalah kondisi masyarakat penuturnya yang
bilingual atau bahkan multilingual. Artinya, kondisi di mana seorang
penutur mampu menggunakan dua bahasa atau bahkan multi bahasa.
Pada situasi seperti ini sering terjadi alih kode (code switching) dan
campur kode (code mixing) berkaitan dengan penggunaan beberapa
leksikon maupun frase bahasa lain dalam tuturan (utterance). Alih kode
(code switching) ialah penggunaan variasi bahasa lain untuk
menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain atau karena adanya
partisipan lain, sedangkan campur kode (code mixing) dapat berupa
interferensi.
Interferensi yaitu pengaruh tidak permanen, oleh karena
merupakan penyimpangan norma bahasa kedua sebagai akibat
penggunaan norma bahasa pertama atau sebaliknya (Weinreich 1953)
dalam Masinambow (1976). Atau, dapat juga dikatakan sebagai
penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk
memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya
pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dsb (Kridalaksana 1993: 9,35).
Dalam kasus Bahasa Melayu Manado (selanjutnya ditulis: BMM),
misalnya, beberapa satuan bahasa yang sering digunakan penuturnya
merupakan interferensi dari bahasa lain ke dalam BMM. Berikut
beberapa contoh kasus interferensi dari Bahasa Inggris dan Bahasa
Melayu Jakarta ke dalam BMM:
Interferensi bahasa asing (Bahasa Inggris) ke dalam BMM:
Ngana do’ pe bae skali eh, thanks dang ne (Bahasa Inggris)
Ngana do’ pe bae skali eh, makaseh dang ne (BMM)
‘Kamu baik sekali, terima kasih ya’
Interferensi bahasa daerah lain (Bahasa Melayu Jakarta) ke
dalam BMM:
Permisi ne, so kebelet kwa. (Bahasa Melayu Jakarta)
Permisi ne, so nda tahang kwa (BMM)
‘Permisi ya, soalnya sudah tak tahan’
Pada contoh pertama tampak bahwa terdapat interferensi dari
bahasa Inggris ke dalam struktur bahasa Melayu Manado, yakni satuan
bahasa (baca: kata) thanks ’terima kasih’. Sementara itu, contoh kedua
dan ketiga memperlihatkan interferensi dari bahasa Melayu Jakarta ke
dalam struktur BMM yang ditandai oleh satuan-satuan bahasa seperti
duluan ’lebih dulu’ dan kebelet ’tak tahan lagi’.
Fenomena pemakaian
satuan-satuan bahasa lain seperti itu bukan tidak mungkin suatu saat
akan meningkat eskalasinya yang pada akhirnya dapat merugikan BMM itu sendiri, bahkan tidak mustahil akan menggiring bahasa tersebut
kepada ambang kepunahan.
Faktor Globalisasi
Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah yang ketiga adalah faktor globalisasi. Era globalisasi sekarang ini yang
terjadi dalam berbagai dimensi kehidupan manusia seperti ekonomi,
sosial, politik, dan budaya telah mendorong penutur sebuah bahasa
untuk secara berhasil dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan
penutur bahasa lain yang berasal dari negara lain terutama negara yang
berbahasa Inggris.
Era ini ditandai pula dengan pesatnya kemajuan
teknologi komunikasi dan informasi yang sangat berdampak pada
orientasi pemakaian bahasa seorang penutur. Dalam situasi seperti itu
penting adanya sebuah bahasa sebagai alat komunikasi secara
internasional.
Dengan kata lain, apa yang hendak dikatakan di sini ialah
bahwa penggunaan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi yang telah
diterima secara global turut berperan pula dalam proses kepunahan
bahasa daerah.
Bahasa Inggris telah menjadi bahasa pergaulan
internasional dan bahasa ilmu pengetahuan. Kebanyakan buku-buku
dalam spektrum ilmu yang beragam saat ini ditulis dalam bahasa
Inggris. Itu berarti seseorang dituntut untuk menguasai bahasa tersebut
apabila ia ingin memasuki lingkungan pergaulan dunia yang penuh
persaingan dengan sukses.
Hal ini secara perlahan dapat mempengaruhi
persentase pemakaian bahasa daerah seorang penutur menjadi lebih
kecil karena bergeser pada pemakaian bahasa Inggris yang persentase
pemakaiannya menjadi semakin besar.
Faktor Migrasi
Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah yang keempat yaitu faktor migrasi (migration). Migrasi penduduk
keluar dari daerah asalnya baik karena pekerjaan, pendidikan, keluarga,
maupun karena beberapa faktor lainnya turut pula menentukan
kelangsungan hidup bahasanya. Contoh kasus yang dapat dikemukakan
di sini yaitu apa yang terjadi pada sebagian orang Manado.
Secara
umum, tampaknya mereka memiliki sifat open-minded. Artinya,
cenderung terbuka dan cepat menerima nuansa dari luar termasuk dalam
aspek kebahasaan. Di satu sisi, karakter tersebut dapat membawa
keuntungan karena di mana-mana dapat dengan mudah beradaptasi
secara cepat dalam berbagai kondisi sosial.
Akan tetapi, di sisi lain,
apabila dikaitkan dengan pemertahanan bahasa dapat membawa petaka
tersendiri bagi keberadaan bahasanya karena ditengarai ada sebagian
generasi muda, misalnya, yang setelah kembali ke daerahnya dari
perantauan di negeri orang (baik di Indonesia maupun di luar negeri),
cenderung menggunakan bahasa di mana mereka merantau dahulu.
Salah satu faktor penyebabnya karena perasaan gengsi bahwa jika menggunakan bahasa daerahnya sendiri maka statusnya akan menjadi
rendah. Sementara itu, status bahasa tempatnya merantau dahulu
dianggapnya tinggi. Salah satu bahasa yang biasanya dianggap berstatus
tinggi yaitu bahasa Melayu Jakarta.
Faktor Perkawinan Antar-etnik (intermarriage)
Faktor kelima ialah perkawinan antaretnik (intermarriage).
Interaksi sosial antaretnik yang ada di Indonesia khususnya perkawinan
antaretnik yang terjadi turut pula mendorong proses kepunahan bahasa
daerah.
Akibat perkawinan tersebut pasangan suami-isteri beda etnik
yang membentuk sebuah keluarga seringkali mengalami kesulitan untuk
mempertahankan bahasa etniknya dan harus memilih salah satu bahasa
etnik yang akan digunakan dalam percakapan sehari-hari. Pemilihan
bahasa apa yang akan digunakan seringkali dipengaruhi oleh liyan yang
menjadi lawan interaksi percakapan.
Faktor Bencana Alam dan Musibah
Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah yang keenam adalah bencana alam dan musibah, juga dapat
turut menjadi penyebab kepunahan sebuah bahasa. Terjadinya
kelaparan, peperangan, penyakit, gempa bumi, tsunami dan sebagainya
dapat saja memusnahkan penuturnya seperti halnya yang terjadi pada
penutur bahasa Paulohi sekitar tahun 1918.
Pada waktu itu, mereka
mengalami bencana gempa dan tsunami yang sangat dahsyat sehingga
hampir semua penutur bahasa tersebut meninggal dan hanya 50 penutur
yang tersisa (Grimes 2002). Sampai saat ini fenomena-fenomena alam
yang terjadi secara tiba-tiba dan sangat sulit diprediksi sebelumnya
sering pula terjadi.
Gempa bumi besar yang terjadi baru-baru ini pada
tanggal 4 Januari 2009 di Manokwari dan Sorong, Papua Barat, dengan
kekuatan 7,6 skala richter dan di Melonguane, Talaud – Sulawesi Utara,
pada awal Februari 2009 dengan kekuatan 7,4 skala richter, bukan tidak
mungkin dapat menjadi faktor signifikan terhadap proses kepunahan
bahasa-bahasa daerah di sana, terutama bahasa-bahasa minoritas yang
jumlahnya cukup banyak.
Oleh karena itu, kajian-kajian keilmuan
terhadap kawasan Timur Indonesia tampaknya perlu diberikan perhatian
yang serius khususnya dalam aspek bahasa dan budaya penduduknya
yang belum tereksplorasi secara baik karena wilayah-wilayah tersebut
merupakan daerah-daerah yang rawan terhadap terjadinya gempa bumi,
tsunami, dan berbagai bencana alam lainnya, terutama dengan adanya
sesar Sorong (patahan Sorong) yang memotong wilayah Kepala Burung,
Papua, dan masih aktif berkembang sampai sekarang. Ini pula lah yang
diduga kuat menjadi penyebab terjadinya gempa beberapa waktu lalu di
sana.
Kurangnya Penghargaan Terhadap Bahasa Etnik Sendiri
Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah yang ketujuh, yaitu kurangnya penghargaan terhadap bahasa etnik
sendiri. Hal ini dapat terjadi di mana saja dan cenderung terjadi pada
generasi muda. Salah satu penyebabnya adalah pandangan mereka
bahwa bahasa daerah kurang bergengsi atau kampungan. Sementara itu,
bahasa lain (misalnya: bahasa Indonesia, bahasa Inggris, atau bahasa
lain yang dominan) dianggap lebih bergengsi daripada bahasa
daerahnya.
Kurangnya intensitas komunikasi berbahasa daerah dalam berbagai ranah khususnya dalam ranah rumah tangga
Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah yang kedelapan, kurangnya intensitas komunikasi berbahasa daerah
dalam berbagai ranah khususnya dalam ranah rumah tangga. Hal ini
dapat memperlihatkan adanya jarak (gap) antara generasi tua dengan
generasi muda di mana transfer kebahasaan lintas generasi mengalami
kemandekan.
Orang tua jarang berkomunikasi menggunakan bahasa
daerah dengan anak-anak. Padahal, intensitas dalam berkomunikasi
dengan bahasa daerah terutama di rumah (antara orang tua dengan anak-anak) pasti sangat menentukan keberlangsungan bahasa daerah tersebut.
Semakin sering bahasa itu digunakan oleh penuturnya akan memberikan
dampak positif dalam upaya menghindari bahasa tersebut dari
kepunahan.
Nah bagaimana,
Nasib Bahasa Ibu di Rumah kita?Faktor Ekonomi
Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah yang kesembilan, yaitu faktor ekonomi. Faktor ini secara tidak
langsung turut pula menempatkan beberapa bahasa daerah dalam posisi
di ambang kepunahan. Banyak penutur bahasa daerah yang lebih sering
menggunakan bahasa lain (misalnya: bahasa Inggris) dengan maksud
tertentu. Misalnya, adanya motif ekonomi.
Hal ini turut mempengaruhi
orang untuk mempelajari dan menggunakan bahasa tersebut baik secara
aktif maupun pasif. Maksudnya antara lain agar dapat memperoleh
pekerjaan dan penghidupan yang lebih baik. Tuntutan zaman sekarang
ini yang mengharuskan orang menguasai bahasa Inggris dalam dunia
pekerjaan baik pada saat melamar maupun pada aplikasinya di dunia
kerja yang nyata merupakan pendorong bagi usaha penguasaan bahasa
tersebut, yang pada gilirannya di satu sisi dapat menjadi pemicu
perkembangan dan popularitasnya.
Sebaliknya, di sisi lain hal ini dapat
menjadi petaka bagi bahasa daerah yang ditinggalkan atau
dinomorduakan oleh penuturnya karena dapat menjadi awal kepunahan
bagi bahasa daerah tersebut.
Faktor Bahasa Indonesia
Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah yang terakhir (kesepuluh) yang dapat diidentifikasi di sini
ialah faktor bahasa Indonesia. Faktor ini sebenarnya secara implisit
tidak lepas dari pengaruh dimensi sosial politik yang melingkupi
kehidupan masyarakat negara ini.
Pengaruh bahasa Indonesia sejak
lama telah dirasakan oleh berbagai bahasa daerah, yaitu sejak tahun1928 ketika bahasa Melayu diberi nama bahasa Indonesia dan diikuti
pada tahun 1945 menjadi bahasa negara, sebagaimana tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36.
Dengan demikian, secara
otomatis bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi kenegaraan dan
banyak dipakai pada ranah-ranah resmi (formal) seperti misalnya
sebagai bahasa pengantar dalam acara-acara kenegaraan dan di
lembaga-lembaga pendidikan. Persaingan dengan bahasa Indonesia
yang pengaruhnya sangat kuat ini telah menyebabkan bahasa-bahasa
daerah mengalami pergeseran (language shift).
Bahkan bagi banyak
orang Indonesia, bahasa Indonesia telah menjadi bahasa primer
sehingga tidak sedikit yang menggunakannya sebagai bahasa pertama,
menggeser bahasa daerah (Gunarwan 2006: 96).
Sumber Rujukan
- Grimes, Barbara F. 2002. “Kecenderungan Bahasa untuk Hidup atau
Mati secara Global (Global Language Viability): Sebab, Gejala,
dan Pemulihan untuk Bahasa-Bahasa yang Terancam Punah.”
Dalam PELBBA 15. Jakarta: Kerjasama Penerbit Kanisius dan
Unika Atma Jaya.
- Gunarwan, Asim. 2006. “Kasus-kasus Pergeseran Bahasa Daerah:
Akibat Persaingan dengan Bahasa Indonesia?” Jurnal Ilmiah
Masyarakat Linguistik Indonesia, Februari 2006, Tahun ke 24,
Nomor 1. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia Bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia.
- Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
- Masinambow, E.K.M. 1976. Konvergensi Etnolinguistik di Halmahera
Tengah: Sebuah Analisis Pendahuluan. Disertasi Doktor,
Fakultas Sastra. Universitas Indonesia, Jakarta.
- Tondo, Fanny Henry . 2009. Kepunahan Bahasa-bahasa Daerah: faktor Penyebab dan Implikasi Etnolingustik. Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 11 No. 2 Tahun 2009.
- Wilian, Sudirman. 2005. “Bahasa Minoritas, Identitas Etnik, dan
Kebertahanan Bahasa: Kasus Bahasa Sumbawa di Lombok.”
Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia, Februari 2005, Tahun
23, Nomor 1. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia
Bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia.
Posting Komentar untuk "Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah di Indonesia"