Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perkembangan Teori Belajar

Humaniora.net - Teman-teman semua. Pada kesempatan ini kita akan membahas tentang Perkembangan Teori Belajar.

Perkembangan teori belajar terutama terdiri dari teori belajar perilaku (behavioralisme), teori belajar kognitivis (kognitivisme), teori belajar konstruktivisme (konstruktivisme), dan teori belajar konektivisme (konektivisme). Singkatnya, teori belajar aktivis menyatakan bahwa belajar adalah respons terhadap rangsangan eksternal.

Teori belajar kognitivis percaya bahwa belajar adalah proses menanggapi pengalaman dan memperoleh dan menyimpan informasi. Sementara teori belajar konstruktivis menyatakan bahwa belajar adalah proses pemahaman.

Sedangkan menurut teori pembelajaran Konektivisme, pembelajaran adalah proses koneksi antar node (simpul atau titik sumber informasi) dalam suatu jaringan internet dan berperan penting dalam memperluas kegiatan pembelajaran. 

Teori Belajar Behaviorisme 

Teori belajar Behaviorisme yang berkembang tahun 1920-an termasuk ke dalam epistemologi objektivisme (objectivism). Epistemologi objektivisme meyakini bahwa ada fakta-fakta, prinsip-prinsip, teori-teori objektif yang dapat dipercaya; baik karena sudah ditemukan sebelumnya, atau memiliki riwayat kepastian yang berlangsung lama, atau akan tetap berlangsung dalam kurun waktu tertentu. 

Kebenaran tersebut ada yang di luar jangkauan pikiran manusia. Misalnya, hukum alam yang tetap konstan meskipun pengetahuan tetap berlangsung terus. Kaitannya dengan profesi pengajaran, pandangan objektivisme melihat bahwa hal-hal yang diajarkan harus terdiri dari fakta, formula-formula, terminologi, prinsip-prinsip yang jelas. 

Buku-buku disusun dengan penuh tanggung jawab keilmuan, informatif, tertata sistematis, dan jelas. Demikian pula tugas siswa untuk menguasainya secara menyeluruh, menambahkan kedalam khazanah pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, didasarkan pada data atau bukti empiris dan hipotesa yang teruji. 

Teori belajar Behaviorisme diilhami metode yang digunakan dalam ilmu fisika kemudian memfokuskan pengamatan pada aspek-aspek perilaku yang dapat diamati dan diukur secara langsung. Behaviorisme menolak keadaan rasa (feelings), sikap (attitudes), dan kesadaran (consiousness) yang tidak dapat diukur dengan pasti. 

Perilaku merupakan respon secara mekanistik yang dapat berubah karena stimulus. Contoh sederhananya adalah mata yang akan berkedip secara reflek ketika mendapat stimulus berupa pancaran sinar yang sangat terang yang menyilaukan. 

Pandangan behaviorisme mengggunakan asumsi adanya keterkaitan langsung antara “input” atau masukan sebagai suatu “stimulus” dan “output” atau keluaran sebagai suatu “respon”. Seseorang dapat memanipulasi “input” agar menghasilkan perilaku sesuai dengan yang diinginkan. 

Umpan balik positif atau negatif dapat digunakan sebagai hadiah/imbalan, penguatan, atau untuk menghilangkan perilaku spesifik tertentu. Sebagaimana fenomena mata berkedip karena bereaksi terhadap sinar yang menyilaukan, aliran pemikiran behaviorisme menawarkan asumsi bahwa perilaku yang berulang-ulang akan menjadi otomatis. 

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, hubungan antara stimulus dan respon dapat dimodifikasi dengan cara memanipulasi “input” yang berperan sebagai “stimulus”. Dengan demikian, “output” pada dasarnya dapat dikontrol dengan memanipulasi “input”. 

Aplikasinya dalam proses belajar mengajar, teori belajar behaviorisme berpandangan bahwa hasil belajar dapat diprediksi dan dapat dikontrol dengan diberi input atau materi pelajaran sebagai kondisi yang akan berperan untuk memanipulasi agar terwujud hasil belajar yang diinginkan. 

Pandangan ini memiliki implikasi bahwa peserta didik diperlakukan sebagaimana “black box” (kotak hitam yang kosong) yang akan diisi dengan paket materi yang disusun secara sistematis yang berperan sebagai input yang menjadi stimulus untuk mendapatkan output sebagai respon yang akan menjadi hasil belajar. 

Demikian pula umpan balik yang dapat memperkuat atau sebaliknya menghapus perilaku berperan dalam proses manipulasi perilaku. Behaviorisme juga mendukung irama atau kecepatan belajar perseorangan atau pembelajaran individual dan perilaku yang berulang-ulang akan menjadi perilaku yang otomatis. 

Di era digital, teori belajar Behaviorisme antara lain diterapkan dalam Artificial Intelligence untuk memodifikasi perilaku. 

Teori Belajar Kognitivisme 

Teori belajar Kognitivisme memiliki asumsi bahwa proses belajar merupakan proses psikologis untuk menanggapi pengalaman. Proses belajar merupakan proses aktif pada pihak yang sedang belajar untuk mengolah informasi yang masuk ke dalam dirinya. 

Informasi diproses dalam pikiran; perubahan perilaku menunjukkan adanya proses yang terjadi di dalam pikiran; proses pencatatan informasi, efektivitas penyimpanan informasi dalam memori jangka pendek dan jangka panjang ada kaitannya dengan karakteristik materi yang dipelajari. 

Berhubung otak memiliki kapasitas yang terbatas dalam memroses informasi, maka informasi harus dibagi-bagi atau dipecah-pecah ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Agar dapat mempertahankan informasi baru, materi harus disampaikan dengan gambaran yang khas, menarik dan mudah diingat sehingga membantu orang yang belajar dalam membedakan informasi baru dari materi yang dipelajari sebelumnya. 

Orang yang belajar harus diberi kesempatan untuk mempraktikkan agar informasi yang telah dimiliki sebelumnya dapat menjadi dasar pijakan/ fondasi pengait terhadap informasi ataupun materi baru yang dipelajari. 

Penerapan teori Kognitivisme dalam pembelajaran misalnya taksonomi tujuan pembelajaran yang dikembangkan Bloom (1956) yang meliputi kawasan kognitif, afektif, dan psikomotorik dan kemudian diperbaiki oleh Anderson dan Krathwohl (2000) dengan menambahkan kawasan berkreasi pengetahuan baru (creating new knowledge). 

Penerapan teori belajar Kognitivisme di era digital misalnya penggunaan sistem tutor cerdas (intelligent tutoring system) yaitu pengembangan paket materi ajar ke berbagai topik kemudian pihak yang akan belajar dapat lompat ke topik yang sesuai dengan kebutuhanya. 

Contoh lain misalnya kecerdasan buatan (artificial inttellegence) yang merancang topik-topik pembelajaran yang menggantikan sebagian peran guru misalnya pembelajaran Bahasa Inggris yang di dalam program telah ada fungsi suara, fungsi koreksi vokal dan konsonan, fungsi koreksi tata bahasa, fungsi latihan/praktik menulis, fungsi topik yang disarankan untuk dipelajari pada tahap berikutnya. 

Demikian pula dalam penerapan teori belajar Kognitivisme dapat dijumpai dalam pembuatan desain instruksional yang merancang topik-topik pembelajaran sesuai tujuan pembelajaran yang harus dicapai sebelumnya, seperti tujuan tingkat memahami, analisis, sistesis, evaluasi, kreasi. 

Implementasi teori Kognitivisme mendukung penerapan Model Pembelajaran Berorientasi Masalah (Problem based learning) yang menerapkan langkah-langkah pemecahan masalah berdasarkan tahapan pemecahan masalah tertentu, di mana langkah-langkah tersebut telah terbukti menghasilkan pemecahan masalah. 

Teori Belajar Konstruktivisme

Teori belajar Konstruktivisme berasal dari bidang ilmu kognitif, khususnya dari Jean Piaget, Lev Vigotsky, Jerome Bruner, Howard Gardner, dan Nelson Goodman. Teori ini menjelaskan bahwa pengembangan pengetahuan melalui belajar merupakan proses konstruksi aktif makna-makna dari hal-hal yang dipelajari yang mana dalam proses pembuatan makna memiliki keterkaitan dengan konteks dan lingkungan di mana kegiatan belajar ataupun situasi belajar dilaksanakan. 

Konstruktivisme memiliki pandangan bahwa pengetahuan atau makna tidak baku (fixed) pada objek tetapi merupakan hasil konstruksi atau proses pemahaman seseorang melalui pengalaman mereka dalam menyikapi objek yang dipelajari dan konteks tertentu yang terkait dengan hal yang dipelajari. Constructivisme menekankan peranan penting kesadaran, kebebasan keinginan, pengaruh situasi sosial terhadap kegiatan belajar. 

Carl Rogers (1969) menyatakan bahwa setiap individu eksis di tengah-tengah dunia pengalaman yang terus berubah yang mana dirinya berada di tengah-tengah arus perubahan tersebut (every individual exist in a continually changing world of experience in which he is the center.”). Teori belajar konstruktivisme dibangun atas dasar asumsi bahwa manusia membangun cara pandang masing-masing ketika menghadapi informasi yang dipelajari. 

Teori belajar Konstruktivisme memandang individu sebagai makhluk yang unik yang tidak sama dengan yang lain karena masing-masing individu memiliki pengalaman hidup yang berbeda-beda, mengadakan interpretasi melalui proses psikhologis yang berbeda-beda, dan menyimpulkan makna secara individual pula. 

Dalam pandangan Konstruktivisme, proses belajar merupakan proses sosial yang memerlukan proses komunikasi antara pihak yang belajar, pihak yang mengajar dan dengan teman belajar. Proses belajar dapat dibantu dengan teknologi, tetapi teknologi tidak dapat menggantikan proses tersebut sepenuhnya. Manusia belajar dengan melakukan refleksi sesuai pengalaman yang dialami masing-masing maupun pengalaman yang diperoleh secara kolaboratif dalam kelompok. 

 Dalam perkembangannya teori belajar Konstruktivisme mengalami perkembangan sehingga ada yang disebut sebagai teori belajar Konstruktivisme dasar dan teori belajar Konstruktivisme modern. Teori belajar Konstruktivisme dasar memiliki pandangan bahwa ketika manusia sedang berusaha memahami objek atau memberi makna objek yang dipelajari dipengaruhi pengetahuan terdahulu (pengetahuan yang telah dimiliki). 

Struktur pengetahuan yang telah dikonstruksi sebelumnya diambil/ditarik ke permukaan dan dijadikan pijakan untuk pengembangan struktur pengetahuan baru. Pengetahuan baru dari proses konstruksi tersebut kemudian ditambahkan ke pengetahuan yang telah dikenali sebelumnya. Konstruktivisme modern percaya bahwa pengetahuan dikonstruksi secara personal kemudian dikembangkan menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya sebagai fondasi. 

Pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya yang dibawa ke permukaan itu sendiri dikonstruksi ketimbang sekadar diambil begitu saja dari memori kasus per kasus. Dengan demikian pengetahuan itu berdasarkan konstruksi individual yang tidak dikaitkan ke realitas eksternal, tetapi lebih kepada hasil interaksi di dalam diri orang itu sendiri dengan dunia eksternal yang dipelajari. 

Pandangan utama Konstruktivisme adalah bahwa pengetahuan tidak eksis secara independen/terpisah di dunia. Maka, setiap situasi dapat dipahami dari berbagai sudut pandang. Pengalaman individual, persepsi, dan konstruksi individual tidak berarti bahwa orang-orang yang mempelajari topik yang sama tidak akan mampu memiliki persamaan pemahaman antara satu individu dengan individu lain, melainkan bahwa proses negosiasi sosial menjadi sangat penting dalam pembelajaran. 

Proses konstruksi pengetahuan oleh para individu didasarkan pada proses interaksi sesama rekan, fasilitator, dan ahli. Konsepsi dan ide-ide dibandingkan, dikonfrontasi, dan didiskusikan melalui interaksi. 

Dalam proses, semua aktor memodifikasi pandangan mereka hingga akhirnya mencapai pemahaman yang umum. Hal ini yang menyebabkan teori belajar Konstruktivisme acap kali didiskusikan sebagai lawan dari teori belajar Behaviorisme

Behaviorisme berpandangan bahwa perilaku dan keterampilan merupakan tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran. Sedangkan konstruktivisme berpandangan bahwa pengembangan konsep dan pemahaman yang mendalam merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran. 

Dalam pandangan teori belajar Konstruktivisme, suatu situasi, negosiasi, dan aneka perspektif memiliki peranan penting. Konsep tersebut yang antara lain memunculkan cara pandang pembelajaran REALs (Reach Enviroments for Active Learning) yaitu pentingnya menjangkau lingkungan melalui pembelajaran secara aktif. 

Pendekatan REALs mendorong pentingnya konteks autentik dan mendorong pentingnya pertumbuhan tanggung jawab bagi peserta didik, juga inisiatif, pengambilan keputusan, dan pembelajaran hingga ke lingkungan ataupun konteks internasional. 

Di era digital, perancang aplikasi komputer mewadahi teori belajar Konstruktivisme dengan menyediakan forum diskusi, unggah tugas ke dalam blog, kerja kelompok dalam dunia maya. Demikian pula model pembelajaran campuran antara tatap muka dan tatap maya (blended learning) mengakomodasi penerapan teori belajar Konstruktivisme. 

Teori Belajar Konektivisme 

Teori belajar Konektivisme mengajukan argumen bahwa pengetahuan terbentuk sebagai hasil dari konektivitas antar- “nodes” (titik-titik atau simpul-simpul yang berisi sumber informasi). Pengetahuan dibuat oleh hubungan antarberbagai individu yang keanggotaanya secara terus-menerus berkembang. Pengetahuan dalam jejaring antarhubungan tersebut tidak di bawah kendali organisasi formal tertentu. 

Lebih lanjut Downes (2010) mengemukakan bahwa dalam Konektivisme tidak ada konsep riil tentang transfer pengetahuan, membuat pengetahuan, ataupun membangun pengetahuan, tetapi lebih ditunjukkan adanya aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan. Atas dasar berbagai aktivitas tersebut kemudian pengetahuan tumbuh dengan sendirinya dalam jalinan konektivitas. 

Prinsip-prinsip Konektivisme antara lain: pembelajaran dan pengetahuan berada pada aneka ragam opini; pembelajaran berupa proses menghubung-hubungkan antarsumber informasi atau “nodes” tertentu; kapasitas ingin mengetahui lebih banyak lebih penting daripada keadaan yang sekarang sudah diketahui; mempertahankan atau menyuburkan koneksi diperlukan untuk menjaga kontinuitas proses pembelajaran; kemampuan untuk bisa melihat koneksi antararea, ide-ide, konsep merupakan keterampilan inti; kekinian (akurasi, kebaruan pengetahuan) merupakan keinginan dari semua pihak yang terhubung dalam jaringan jalinan koneksi; dan proses belajar diwarnai proses pembuatan keputusan.

Keputusan tentang apa yang akan dipelajari dan makna informasi yang datang dilihat sebagai hamparan pergeseran realita. Hal-hal yang dianggap benar pada saat ini kemungkinan dianggap salah esok hari karena pengaruh dari informasi yang datang dan memengaruhi keputusan. 

Belajar dibangun di atas jejaring informasi yang merupakan jejaring koneksi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Informasi tidak berpusat di satu tempat, tetapi terpencar di mana-mana. Proses belajar memerlukan individu-individu yang berkumpul untuk melakukan klasifikasi dan membuat pemprioritasan informasi. 

Implikasi teori belajar Konektivisme antara lain belajar bergantung pada pengembangan jejaring yang menawarkan ragam informasi; belajar sebaiknya dikenalkan dengan aneka ragam sumber-sumber informasi; belajar akan efektif ketika seseorang memperkaya jejaring dan dapat melihat koneksi antar sumber-sumber, ide-ide, dan konsep-konsep yang disediakan atau yang ada pada jejaring; jejaring terdiri dari orang-orang yang memiliki kepentingan yang sama yang saling berbagi hal sesuai kepentingan tersebut karena mereka ingin membantu orang lain atau meningkatkan kebaikan dunia. 

Mereka ingin mendapatkan informasi yang akurat, kekinian, yang sesuai dengan situasi tertentu. Seringkali anggota jejaring tidak saling bertemu atau tidak saling mengetahui. Jejaring sulit diarahkan dan keanggotannya sulit dipertahankan; pembuatan keputusan merupakan proses belajar. 

Aplikasi teori Konektivisme dalam proses pendidikan antara lain praktik kursus-kursus ataupun perkuliahan dalam jaringan yang terbuka untuk umum secara masif (massive open online course/MOOC).

Sumber Rujukan

  1. Sujak, Abi. 2021. Mengajar Generasi Z.Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
  2. https://hermananis.com/teori-belajar-menurut-para-ahli


Posting Komentar untuk "Perkembangan Teori Belajar"

Perkembangan Kurikulum di Indonesia dan Profil Kurikulum di Berbagai Negara di Dunia
Prinsip-Prinsip Penilaian
Struktur Karangan Narasi